WAYANG KRUCIL NGAWI

Link Referensi:
Judul : Wayang Krucil Sriguwak Ngawi: Kesenian Mancanegeri Yang Terabaikan
Penulis : Tjahjono Widijanto
Tahun : 13 Juli 2021
Penerbit: Borobudor Writer & Cultural Festival
Formulir Isian Data Pengajuan WBTB tahun 2023 dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi
https://www.youtube.com/watch?v=HDKEzCBp4UM
Asal: Jawa Timur
Jenis: - Teater - Wayang
Klasifikasi:
- Terbuka
- Sakral
- Dipegang Teguh
Kondisi:
- Masih Bertahan
- Sudah Berkurang/terancam punah
Upaya Pelestarian:
- Pertunjukan Seni, pameran, peragaan/demonstrasi
- Internet
Pelapor: WIWIEN PURWANINGSIH, S.Sos
Kustodian: Dinas Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Ngawi
Guru Budaya/Maestro:
- Dalang Suwardi
- Gondo Suwarni
Wayang kulit merupakan kesenian dengan menggunakan bentuk karakter mitologi yang biasanya dibuat dengan menggunakan lembaran kulit binatang (kerbau atau sapi) yang dikeringkan. Dimainkan oleh seorang dalang, wayang kulit membawa cerita-cerita dengan pesan yang berasal dari kepercayaan dan budaya setempat mengenai budi pekerti luhur, atau bahkan berupa kritik sosial.
Sebutan wayang berasal dari kata ‘Ma Hyang’ yang artinya menuju kepada roh spiritual, para dewa, atau sang kuasa. Hal ini menjadi kebanggan tersendiri karena kesenian ini memang sudah dimainkan sejak zaman dahulu sejak kerajaan Hindu-Buddha di mana sebagian besar masyarakat masih memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa. Ada juga yang merumuskan wayang yaitu istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga dapat menonton wayang dari belakangan kelir atau hanya gambarannya saja. Wayang kulit dilakukan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator percakapan tokoh-tokoh wayang, dengan disertai oleh musik gamelan yang dilakukan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memperagakan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangannya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar mampu melihat gambaran wayang yang jatuh ke kelir. Untuk mampu memahami kisah wayang (lakon), penonton harus memiliki ilmu hendak tokoh-tokoh wayang yang gambarannya tampil di layar. Selain itu dalam pagelaran wayang juga ada yang namanya sinden. Dimana nantinya sinden akan menyanyikan beberapa lagu dalam pagelaran wayang kulit yang juga akan diiringi oleh alunan musik gamelan. adi bisa dibilang jika dalam pagelaran wayang secara keseluruhan ada yang namanya dalang yang memainkan wayang kulit sesuai dengan cerita yang dibawakan. Lalu ada nayaga yang bertugas untuk memainkan alat musik gamelan dan juga beberapa sinden yang bertugas menyanyikan lagu dalam pagelaran wayang kulit tersebut. Adanya goro-goro juga menjadi satu hal yang menarik dan juga menjadi daya tarik tersendiri dalam pagelaran wayang tersebut. Tak heran jika banyak penonton pagelaran wayang kulit yang akan menantikan pementasan goro-goro dalam satu pementasan wayang kulit. Lokasi menyebar diseluruh Kecamatan Ngawi (Joko Klentheng, Lasno, Alex, Gutoyo, Mulyo Sri Kresno, Edi Darsono, Sukadi dll)
Sebagai salah satu kantong kebudayaan Jawa, Ngawi memilki banyak seni tradisi dan folklore yang terengah-engah digerus zaman, salah satu diantaranya ialah wayang krucil di Dusun Sriguwak Desa Selopura kecamatan Pitu. Dusun ini berada di sebelah utara Kabupaten Ngawi di dekat perbatasan wilayah Blora. Sebenarnya penyebaran wayang krucil ini tidak hanya ada di Ngawi tetapi juga dahulu dapat dijumpai di Nganjuk, Tuban dan Kediri. Di beberapa tempat, wayang krucil sering disebut sebagai wayang klitik, karena terbuat dari bahan kayu yang pipih dengan ukuran kecil sehingga bila dimainkan menimbulkan suara “pating klithik” (sama dengan suara kayu-kayu kecil yang beradu satu sama lain).
Wayang krucil berbentuk dua dimensi dan pipih, berbahan kayu (tetapi tidak sama dengan wayang golek) dan tidak memakai cempurit. Berbeda dengan wayang kulit (wayang purwa), kalau wayang kulit satu tokoh memiliki satu nama dengan karakter masing-masing, dalam wayang krucil satu wayang dapat berganti-ganti peran sehingga namanyapun dapat berganti-ganti. Dalam wayang krucil hanya dibedakan empat tipe tanpa nama, yaitu wayang bambangan (ksatriya), kapandhitan, punakawan, dan sabrangan (antagonis). Sehingga satu wayang krucil bambangan bisa sebagai tokoh Damarwulan, Anglingdarma, Umarmaya, dan sebagainya. Menurut sejarah wayang, wayang krucil merupakan wayang wasana (wayang akhir) setelah wayang madya dan wayang purwa. Menurut James R.Brandon, pencipta wayang krucil adalah Raden Pekik dari Surabaya pada tahun 1648 (1571 Caka), dengan bunyi sengkalan watu tunggangane buta widadari. Wayang krucil Sriguwak ciri-ciri bentuk anatominya lebih halus (terutama dalam pahatan kaki), dan lebih bersifat halus dan tenang dibanding dengan wayang krucil di daerah lain.
Wayang krucil di berbagai daerah memiliki beberapa unsur kesamaan yaitu (1) spontanitas, yang tampak dalam gerak-gerik dalang krucil yang penuh improvisasi, suluk/sendhon/ada-ada yang spontan menurut adegan; (2) kesederhanaan, hal ini tampak pada gerak-gerik wayang, bahasa Jawa yang tidak terlampau halus/rumit, tata pentas (tanpa blencong, dan gamelan yang sederhana; dan (3) egaliter, tampak pada hubungan yang akrab antara dalang, pengrawit dan penonton. Pada saat pementasa berlangsung sering terjadi komentar-komentar spontan (saur manuk) antara dalan dan penonton. Kesederhanaan ini juga tampak dengan tidak adanya layar (kelir) yang menjadi batas dalang dan penonton.
Walaupun memiliki kesamaan dengan wayang krucil di daerah lain, wayang krucil Sriguwak juga memiliki karakter yang khas, yakni tidak banyak mendapat pengaruh wayang purwa. Wayang krucil Sriguwak antawacana dan gerakannya lebih halus. Dibandingkan dengan wayang krucil di Nganjuk misalnya, gerakan dfalang wayang krucil Sriguwak lebih tenang, sedangkan wayang krucil di Nganjuk dalangnya cenderung bergerak dramatis dan agak berlebih-lebihan. Wayang krucil Sriguwak juga lebih taat pada pakem wayang krucil asli. Hal ini tampak pada gendingnya yang bertahan pada “krucilan”, laras miring dan seseg, sedangkan wayang-wayang krucil di daerah lain sudah menggunakan perangkat gamelan lengkap pelog-slendro sehingga nadanya tidak berkhas “krucilan” lagi. Gending-gending wayang krucil Sriguwak juga khas krucilan kuno, misalnya gending mangkok, playon, dan pacarcina yang mengutamakan gambang yang dinamis dan bersifat “saut-greget” yang sigrak. Dalam pagelerannya wayang krucil Sriguwak tidak menggunakan gunungan (kayon) tetapi menggunakan dhadak merak sebagai ganti gunungan. Dan yang paling istemewa, menurut Dr. Setyo Yuwono Sudikan (2001) dalang wayang krucil Sriguwak dalam menampilkan adekan “golekan” dan tari tokoh wanita cina lebih hidup dan indah dibanding dengan dalang wayang krucil di daerah lain. Tradisi wayang krucil di Sriguwak berlangsung secara turun temurun dan cenderung merupakan pagelaraan sacral (ritual) yang berkait dengan upacara sedekah bumi atau untuk keperluan nadar. Kesakralan wayang krucil Sriguwak ini terwujud dalam pagelaran yang tanpa menghadirkan waranggana, wayang-wayang yang dikeramatkan (tidak boleh dibuka selain oleh dalangnya), dan gemelannya yang walaupun hanya terdiri dari empat macam dapat terdengar sampai jauh. Karena “kesakralan” itu sampai saat ini perangkat gamelan dan wayang-wayang krucil Sriguwak ke manapun dipentaskan tidak boleh dinaikkan kendaraan tetapi harus dipikul. Dalang wayang krucil Sriguwak generasi terakhir adalah Sumadi yang kesehariannya adalah seorang tukang kayu. Sebagai dalang wayang krucil, Ia mendapat hak-hak istimewa dari desa seperti dibebaskan dari kerja bakti, bebas membayar sumbangan (iuran) desa, dan bebas jaga malam. Sebagai gantinya ia wajib mendalang wayang krucil dalam upacara bersih desa (nyadran) setahun sekali tanpa harus menerima honorarium.
Perangkat gamelang yang digunakan Dalang Sumadi saat mementaskan wayang krucil Sriguwak amat sederhana dan setia mempertahankan gamelan asli wayang krucil (krucilan).
Gamelan krucilan ini terdiri dari kendhang, kempul, kenong berlaras nada 1,6,5, dan gambang laras pelog bem (laras miring). Dalam pagelerannya dalang Sumadi hanya dibantu lima pengrawit yaitu Sumiyanto, Sudiyono, Sarmo, Kamiran dan Sukidi yang semuanya sudah berusia lanjut, hal ini tentu saja sangat berbeda dengan pertunujan wayang purwa (kulit) yang memerlukan banyak para pengrawit.
Dalam pengambilan cerita, wayang krucil Sriguwak dapat mengisahkan lima kategori cerita, yaitu (1) Sejarah (misalnya cerita Untung Surapati, Aryo Penangsang, Trunajaya, dsb), (2) Cerita Babad (misalanya babad Pati, Babad Demak, Babad Panaraga, dsb), (3) Serat Menak (misalnya: Umarmaya, Umar Madi, Amir Hamzah, dsb), (4) Panji (misalanya: Kuda Waneng Pati, Panji Jayeng Tilam, Kethek Ogleng, Panji Semirang, dsb), dan (5) cerita carangan (gubahan) Dalang Sumadi sendiri yang bercorak mistis-kebatinan, misalnya lakon Iman Sejati-Sejating Iman.
Sebagai salah satu wujud atau hasil kebudayaan, kondisi perkembangan wayang krucil Sriguwak Ngawi saat ini sangat menyedihkan karena hampir tidak lagi memiliki pendukung riilnya, baik pendukung aktif maupun pendukung pasifnya. Pendukung aktif yang terdiri dari pelaku budaya atau seniman kreatifnya nyaris punah karena meskipun dalang wayang krucil Sriguwak masih ada namun sulit untuk mencari pewarisnya. Di sisi lain masyarakat sekitarnya sebagai pendukung pasifnya sudah pula berpaling dari bentuk kesenian ini.
Selain itu ada banyak faktor lain, baik internal atau eksternal yang mengancam keberadaan wayang krucil Sriguwak. Faktor internal itu berupa (1) bentuk wayang krucil Sriguwak yang statis dan tidak inovatif akibat adanya asumsi kesakralan (misalnya, tidak boleh ada waranggana, tidak boleh penambahan unsure gamelan karena dianggap mengurangi kesakrala, dan tidak boleh memasukkan tembang-tembang baru yang populer di masyarakat), (2) sifatnya yang baku, dan (3) para pelakunya sudah berusia lanjut dan regenerasi yang terputus.
Sedangkan faktor eksternal yang turut menggelontor wayang krucil Sriguwak ke kepunahan antara lain berupa (1) seni mendalang wayang krucil tidsak diajarkan di sekolah formal atau Institus Seni, walaupun banyak sekolah seni pedalangan namun tidak ada yang sedikitpun melirik seni pedalangan wayang krucil, (2) profesi dalang wayang krucil dianggap sebagai “wahyu” sehingga tidak mungkin dipelajari orang lain. (3) desakan seni modern dan budaya massa, (4) anggapan masyarakat bahwa wayang krucil tidak dapat mengungkapkan nilai-nilai budaya baru yang serasi dengan perubahan zaman, dan (5) tidak ada sama sekali perhatian pemerintah daerah terhadap wauyang krucil Sriguwak. Karena dianggap tidak memberikan keuntungan material seperti seni-seni tradisional lainnya yang bernilai pariwisata (seperti misalnya: campur sari), Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi tidak pernah mempromosikan terlebih memperlakukannya sebagai salah satu aset pluralisme budaya.
Lokasi Kec.Pitu Ngawi dan beberapa di kecamatan Lainnya.